Koruptor Tak Dapat Remisi

Senin, 11 Agustus 2008

Minggu, 10 Aug 2008,

JAKARTA – Para koruptor yang diputus pengadilan satu tahun terakhir, agaknya, harus memendam kekecewaan. Sebab, Departemen Hukum dan HAM menegaskan tak akan membagikan remisi (pemotongan hukuman) pada perayaan hari kemerdekaan nanti.

Dirjen Pemasyarakatan Untung Sugiyono mengungkapkan bahwa mereka yang diputus korupsi harus menjalani sepertiga masa pidana dahulu. Setelah rampung, barulah Depkum HAM akan mengusulkan untuk mendapatkan pemotongan hukuman. Selain korupsi, yang menjadi pengecualian adalah terorisme, narkotik, dan kejahatan berat HAM. ’’Ya, tetap tak ada pemotongan hukuman. Mereka memang dikecualikan aturan,’’ ujar Dirjen Pemasyarakatan Untung Sugiyono Jumat lalu (8/8).

Namun, aturan tersebut lebih dikhususkan bagi mereka yang diputus pengadilan sejak setahun lalu. Itu terjadi karena pijakan pemberian remisi diatur dalam PP No 28 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Aturan itu dikeluarkan 28 Juli 2006.

Dia mengungkapkan bahwa aturan tersebut mulai berlaku efektif setahun setelah diundangkan. ”Jadi, mereka yang diputus sebelum aturan itu ada masih aman. Sebab, aturan tidak berlaku surut,” ujarnya.

Mereka yang berstatus tersangka atau tahanan titipan kejaksaan sudah pasti harus gigit jari. Sebab, korting hukuman tersebut hanya bagi mereka yang berstatus narapidana.

Saat ini Depkum HAM memang tengah menghitung jumlah narapidana yang akan mendapatkan korting hukuman. Rencananya, pemberian remisi itu diumumkan pada hari ulang tahun RI 17 Agustus mendatang. ’’Saya belum tahu jumlah pastinya. Sekarang baru masuk dari Riau dan Jatim,’’ jelasnya.

”Masih ada kesempatan, silakan daerah memasukkan siapa yang dapat remisi itu,” ujarnya. Untuk mendapatkan remisi, prinsipnya Depkum HAM memang menerima usul dari daerah. (git/kim)


http://www.timorexpress.com/index.php?act=news&nid=25030


Read More...

Dua Tersangka Keluar Ruang Isolasi

MAUMERE, PK--Dua dari tiga tersangka dugaan korupsi Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Sikka, Anton Toni Minggu dan Masri Toni Amat, sudah keluar dari ruang isolasi di Rumah Tahanan Negara (Rutan) Maumere. Keduanya sudah menempati ruang sel tahanan umum.

Sedangkan tersangka, Drs. Rivain Sola da Lopes, mantan Direktur PDAM dan La Adi, mantan bendahara Partai Golkar Sikka, yang juga tersangka dugaan korupsi, hingga saat ini masih menempati ruang isolasi.

Kepala Rutan Maumere, Frans Elias Nico, Bc.Ip, S.sos,M.Si, mengatakan itu saat ditemui akhir pekan lalu. Dia menjelaskan, ketentuan di rutan, tahanan yang baru wajb menempati ruang tahanan khusus/ isolasi sebelum menempati ruang tahanan umum bersama tahanan lain.

Dua tersangka korupsi, Toni Minggu dan Masri Amat, demikian Nico, sudah melalui tahapan itu, dimana keduanya sudah menempati ruang isolasi selama seminggu untuk beradaptasi sebelum dikurung di ruang tahanan umum. "Anton dan Toni sudah keluar dari ruang isolasi. Mereka sekarang ditempatkan di ruang tahanan umum di blok F," kata Nico.

Bagaimana dengan Riky dan La Adi? Riky dan La Adi masih menempati ruang tahanan khusus/isolasi hingga beberapa hari ke depan. Riky dan La Adi baru ditempatkan di ruang isolasi tanggal 17 Juli 2008. Riky dan La Adi baru bisa bebas dari ruang isolasi tanggal 23 Juli 2008.

Mengenai kondisi kesehatan Riky yang dikabarkan stress yang mengarah ke depresi, Nico mengatakan, pihaknya akan koordinasi dengan jaksa. Namun tidak ada perlakuan khusus bagi Riky. Riky tetap menempati ruang isolasi.

Pengacara tersangka Riky, Meridian Dado, S.H yang ditemui di Pengadilan Negeri (PN) Maumere, Senin (21/7/2008), mengatakan, pihaknya telah memasukkan surat permohonan penangguhan penahanan kliennya. "Kami berharap kajari bisa mengabulkan permohonan penangguhan penahanan terhadap Riky, karena kondisi kesehatan tidak memungkinkan untuk ditahan di rutan. Kami minta statusnya dialihkan ke tahanan kota ," kata Dado.

Untuk diketahui, Rabu (9/7/2008), penyidik kejaksaan menahan dua tersangka dugaan korupsi PDAM Sikka, Anton Toni Minggu dan Masri Toni Amat. Kamis (17/7/2008), pihak kejaksaan menggelandang dua tersangka korupsi ke Rutan Maumere, yakni Mantan Direktur PDAM Sikka, Drs. Rivain Sola da Lopez alias Riky dan mantan bendahara Golkar Sikka, La Adi. Keduanya juga menempati ruang tahanan khusus. Sementara tersangka dugaan korupsi lainnya, Drs. YBS Sadipun, Kamis (10/7/2008), tidak ditahan di Rutan, namun berstatus tahanan kota.

Tersangka Riky, Toni dan Masri adalah tersangka kasus dugaan korupsi PDAM Sikka tahun 2006. Sementara Drs. YBS Sadipun dan La Adi adalah tersangka kasus dugaan korupsi dana bantuan pemerintah kepada Partai Golkar Sikka tahun 2006. (vel)


http://www.pos-kupang.com/main/cont.php?content=file_detail&jenis=5&idnya=3912&detailnya=1

Read More...

30 Persen Napi Buta Huruf, Di Rutan Maumere

MAUMERE, PK -- Sekitar 50 orang (30-an persen) dari 170 narapidana/tahanan yang menghuni Rumah Tahanan Negara (Rutan) Maumere masih buta huruf. Mereka tidak bisa membaca dan menulis karena sebagian besar dari mereka tidak pernah sekolah dan yang lain drop out sekolah dasar. Ke depan, pihak Rutan Maumere akan bekerja sama dengan Dinas Dikbud Sikka untuk menangani persoalan sumber daya manusia (SDM) di Rutan tersebut.

Kepala Rutan Maumere, Frans Elias Nico mengatakan hal itu di ruang kerjanya, Selasa (22/7/2008). Dia menjelaskan, saat ini Rutan Maumere menampung sekitar 170 tahanan/napi di enam blok yang ada. Dari jumlah itu, sekitar 30 persen tidak bisa membaca dan menulis. "Kondisi ini memrihatinkan dan butuh penangan bersama," kata Nico.

Upaya yang dilakukan mengatasi masalah itu, kata Nico, yakni dalam waktu dekat pihaknya akan membangun kerja sama dengan Dinas Pendidikan setempat agar di Rutan bisa dibuka kelas untuk para tahanan/napi belajar tulis menulis.

"Kalau terwujud, maka kami akan minta tenaga pengajar untuk mengajar para tahanan dan napi tentang baca tulis. Banyak napi tidak bisa baca tulis. Ada yang bisa baca tapi tidak bisa tulis. Saya akan koordinasi dengan dinas pendidikan untuk bisa membuat napi/tahanan bisa baca tulis. Hal ini dimaksud ada sesuatu yang berharga yang bisa mereka bawa keluar dari Rutan saat bebas nanti," tambahnya.

Lebih lanjut Nico mengatakan, dari 170-an napi/tahanan ada tiga orang anak serta dua wanita. Jumlah masa tahanan para napi ini di bawah 10 tahun. Kegiatan yang dilakukan para tahanan/napi dalam Rutan, yakni mengikuti keterampilan montir sepeda motor, salon/cukur rambut, membuat pavin blok. Bahkan, ada salon rambut dan bengkel motor dibangun di samping Rutan Maumere dan pekerjanya adalah napi/tahanan. "Hasil pekerjaan mereka bagus," kata Nico. (vel)

http://www.indomedia.com/poskup/2008/07/25/edisi25/floresa.htm

Read More...

Napi, PSK dan HIV/AIDS

Oleh Isidorus Lilijawa


Dalam diskusi tentang "Bahaya Moke Bagi Kehidupan dan Perilaku Manusia" yang diselenggarakan Yayasan Aku Cinta Kehidupan (ACK) di Rutan Maumere - Flores, Rabu (19/9), para napi mengusulkan kepada Pemkab setempat agar segera melokalisasi pekerja seks komersial (PSK) yang ada di Kota Maumere saat ini. Upaya lokalisasi itu dinilai dapat meminimalisasi berbagai penyakit seperti HIV/AIDS, infeksi menular seksual (IMS) dan berbagai penyakit lainnya (Flores Pos, 24/9).

Kesadaran para napi untuk menyuarakan hal di atas patut diberi apresiasi. Dari balik terali besi, mereka ternyata tidak sekadar terpekur menunggu kapan saatnya dibebaskan dari ruang prodeo itu, tetapi dalam ruang kesendirian maupun kolektif itulah mereka masih berpikir tentang masa depan umat manusia; masa depan generasi muda Sikka.

Terlepas dari kasus apa mereka dihukum dan dimasukkan ke rumah tahanan, seruan moral yang mereka lontarkan saat diskusi itu adalah isyarat bahwa telah lahir sebuah metanoia, sebuah pertobatan batin, suatu transformasi sikap dan pemikiran untuk menjadi warga masyarakat yang lebih baik. Dengan demikian, hemat saya fungsi rumah tahanan perlu diperdalam tidak saja sebagai rumah hukuman, tetapi harus menjadi rumah pembelajaran, rumah pembinaan, ruang pertobatan dan ruang transformasi.

Usulan melokalisasi PSK di Kota Maumere merupakan sebuah usulan yang menarik untuk dikaji. Sebagai sebuah daerah perkotaan yang terbuka dan mudah dijangkau melalui perhubungan darat, laut dan udara, Kota Maumere sangat strategis dan menjadi tempat transit segala kepentingan masyarakat. Bahkan oleh budaya urban yang kian merebak, ramai-ramai orang dari berbagia daerah dan pelosok mencari hidup di kota ini.

Tak dapat disangkal, terjadilah interaksi sosial melalui hubungan kepentingan ekonomi, psikologis, sosial, maupun budaya. Dan dalam arus transaksi kepentingan itu, tak dimungkiri ada orang yang melakoni hidup sebagai PSK. Anjuran para napi itu menegaskan bahwa telah dan sedang ada PSK yang beroperasi di Maumere dengan wilayah-wilayah target tertentu.

Alasan yang dikemukakan terkait lokalisasi itu adalah meminimalisasi berbagai penyakit seperti HIV/AIDS, infeksi menular seksual (IMS), menekan angka kriminal akibat perbuatan asusila. Berkaitan dengan penularan HIV/AIDS, selain melalui jarum suntik, dari ibu penderita HIV/AIDS kepada bayinya, kontak seksual bergonta ganti pasangan adalah salah satu penyebabnya. Dan para PSK adalah kelompok yang sangat rawan dan berisiko terkena HIV/AIDS. Sebagai profesi yang konon setua sejarah peradaban manusia, pelacuran terkait dengan banyak sisi gelap manusia.

Coba saja kita mencari tahu bagaimana seorang perempuan bisa menjadi seorang PSK, maka kisahnya pastilah terkait erat dengan seorang penipu, seorang lelaki bajingan, atau hal-hal yang lebih serius seperti kemiskinan, industri pariwisata, ketimpangan hubungan lelaki-perempuan dalam suatu masyarakat dan faktor-faktor struktural lainnya dalam sistem sosial-politik masyarakat yang bersangkutan.

Dengan tuntutan ekonomi yang semakin tinggi, para PSK yang bekerja secara ilegal (disebut ilegal untuk membedakan dari yang legal yang dilokalisasi) berusaha mencari dan menanti peruntungannya sendiri-sendiri. Pada titik ini kepentingan perut (ekonomi) mendapat prioritas yang lebih tinggi ketimbang kepentingan kesehatan. Tidak adanya kontrol kesehatan yang rutin seperti kalau dilokalisasi, maka para PSK ilegal itu rawan tertular HIV/AIDS dan IMS.

Dan tentunya para pelanggannya juga akan tertular penyakit yang sama. Kalau saja ada PSK yang sudah tertular HIV/AIDS dan dalam sehari ia melayani 3-4 orang pelanggan yang tidak mau menggunakan pengaman (kondom), tentu korban penularan itu bertambah. Seandainya para pelanggan itu tertular dan mereka telah berkeluarga, maka penyakit yang sama akan ditularkan kepada isteri di rumah.

Bayangkan saja kalau ada beberapa PSK yang sudah terinfeksi HIV/AIDS, berapa korban HIV/AIDS yang terus bertambah? Untuk diketahui bahwa hingga Maret 2007, jumlah korban yang terinfeksi HIV/AIDS di Kabupaten Sikka berjumlah 38 orang. Ada dari antaranya yang telah meninggal dunia. Sebuah angka yang bukan kecil. Tanpa pencegahan dan sosialisasi yang rutin, angka itu akan bertambah dengan begitu cepat oleh berbagai faktor di antaranya gonta ganti pasangan seks berkat kehadiran PSK.

Pro Kontra Lokalisasi

Anjuran para napi Rutan Maumere agar para PSK di Kota Maumere dilokalisasi adalah sebuah langkah yang perlu dimaknai. Diskusi semacam ini memang penting dan karena itu perlu dibuka ruangan yang lebih luas untuk membicarakannya. Artinya, praktik PSK yang berlangsung di dunia remang-remang itu perlu dibuka dari kedok semacam itu.

Ada yang pro lokalisasi dengan alasan seperti di atas; untuk mencegah penularan berbagai penyakit (HIV/AIDS, IMS), mencegah tindakan kriminal asusila, mengurangi hasrat remaja untuk coba-coba bermain seks, perlu diberantas (dilokalisasi) karena PSK adalah penyakit masyarakat, mengganggu keharmonisan rumah tangga orang lain, supaya mudah dikontrol kesehatannya, bertentangan dengan nilai-nilai budaya setempat dan agama.

Di lain pihak, ada juga yang kontra lokalisasi. Alasannya, lokalisasi PSK berarti kita melegalkan kejahatan, memberi ruang pada praktik-praktik amoral, membiarkan praktik sub-human (perendahan martabat wanita, penganiayaan, perlakuan semena-mena di tempat lokalisasi), mentolerir penyakit masyarakat. Kelompok seperti ini lebih melihat prostitusi sebagai kegiatan yang harus dibasmi, entah dalam lokalisasi maupun yang bertindak ilegal di hotel-hotel dan pub-pub.

Pro kontra semacam ini bisa berkaca dari pro kontra masyarakat terhadap sosialisasi penggunaan kondom beberapa dasawarsa lalu. Dari kacamata moral (masyarakat kita adalah masyarakat bermoral dan berhukum), promosi kondom untuk pencegahan AIDS menjadi kontroversial karena masyarakat bisa menganggapnya sebagai legitimasi bagi praktik prostitusi.

Meski anggapan ini baik adanya, tetapi ada baiknya juga untuk dikaji ulang mengingat drastisnya perubahan nilai dalam fenomen kehidupan seks manusia modern. Artinya, apakah mengecam atau mengutuk pelacuran masih efektif bila tingkat promiskuitas (tidak mampu membeda-bedakan) masyarakat saat ini sudah sangat tinggi? Itu baru secara promiskuitas sementara secara situasional, soal yang lebih gawat lagi adalah bahaya AIDS sendiri.

Dalam perkara AIDS, kondom sebenarnya mempunyai konsep moral yang jelas dan tidak dirancukan dengan kacamata moral terhadap praktik prostitusi. Moralitas kondom di sini adalah moralitas penyelamatan yang mencoba memaafkan kekhilafan manusia dalam perilaku seksualnya. Tegasnya, penggunaan kondom untuk mencegah AIDS tidaklah identik dengan memberi legitimasi bagi praktik prostitusi.

Lontaran ide para napi agar di Kota Maumere perlu dibangun lokalisasi untuk para PSK adalah sebuah wacana yang perlu didiskusikan. Tanpa tendensi untuk terus melestarikan prostitusi di Maumere, keyakinan para napi adalah lokalisasi bisa meminimalisir penularan HIV/AIDS dan IMS lainnya. Namun, ide ini perlu dikonfrontasikan dengan ide lain yang memilih menghilangkan PSK dari Kota Maumere, dan bukan sekedar dilokalisasi.

Ini memang pekerjaan berat bagi pemerintah dan masyarakat Kota Maumere untuk menempatkan persoalan PSK dan HIV/AIDS pada porsi yang strategis untuk dibahas dan dicari jalan keluarnya. Karena yang dihadapi dalam kaitannya dengan PSK ini adalah manusia-manusia, maka pendekatan yang humanistik mutlak perlu. Bukan soal mau menghilangkan PSK dari Kota Maumere atau sekadar melokalisasinya. Yang terutama adalah harus ada alasan yang mencukupi (sufficient rasionis) untuk menegaskan bahwa kedua-duanya tidak harus ada di Kota Maumere.

Ironi PSK

Dalam tataran yang lebih dalam, anjuran para napi Rutan Maumere agar PSK dilokalisasi adalah sebuah ide yang baik untuk menakar sejauh mana moralitas masyarakat kita saat ini. Pembicaraan menyangkut kehadiran PSK di sisi lain adalah sebuah ironi bagi struktur-struktur sosial politik dalam masyarakat kita. Pertanyaannya, lebih bermoral manakah: seorang PSK yang baik atau seorang politikus yang jahat? Apa jawaban anda jika seseorang bertanya begitu kepada anda?

Menurut F X Rudy Gunawan, dalam buku Pelacur dan Politikus, "dalam masyarakat yang sudah terbiasa menistakan seorang pelacur (sementara seorang politikus bisa berbicara tentang kebaikan, keadilan dan kesejahteraan rakyat sambil menginjak-injak apa yang mereka sebut rakyat itu), pasti sulit untuk mendapat jawaban bahwa PSK yang baiklah yang lebih bermoral."

Lucunya, konsep-konsep moralitas pun kemudian terbentuk berdasarkan pola hubungan yang berlaku antara laki-laki dan perempuan tersebut. Apa yang baik bagi lelaki belum tentu baik bagi perempuan. Apa yang dilarang untuk kaum perempuan malah dibolehkan untuk kaum lelaki. Perempuan lalu menjadi pelacur, perex, lonte, dan entah apalagi sebutannya jika ia tidur dengan lebih dari satu lelaki.

Sebaliknya lelaki tidak pernah disebut sebagai pelacur sekalipun tiap malam ia meniduri pelacur. Imbalan uang yang diberikan oleh kaum lelaki seakan menghapus begitu saja nilai perbuatan mereka, menghibakan pada kaum perempuan sebagai pihak yang menanggung dosa. Jika kita kembali ke pertanyaan semula: "Siapakah yang sebenarnya yang lebih bermoral, seorang pelacur yang baik atau politikus yang jahat?", apa jawaban anda sekarang" Atau anda hanya akan mengangkat bahu dan berkata: emang gue pikirin.

Kalau sudah begitu, ya apa boleh buat.
Keberanian kita menempatkan persoalan prostitusi pada porsi yang sebenarnya adalah hal yang perlu agar persoalasn itu bisa didekati secara jelas dan tepat. Kebanyakan PSK adalah korban dari sekian banyak struktur; ekonomi, sosial, politik, kultur yang menempatkan dan memaksa mereka bermain di posisi seperti itu.

Seorang pelacur yang sangat sukses di Kairo menulis tentang sikap politiknya terhadap negerinya begini: "Saya katakan pada orang dari kepolisian itu bahwa saya tak tahu apa-apa mengenai patriotisme. Bahwa negeri saya bukan saja tak memberi apa-apa, malah telah mengambil segalanya dari saya, termasuk kehormatan dan martabat saya."

Pelacur itu bernama Firdaus. Ia bisa anda temukan di sebuah novel karya Nawal el-Saadawi yang berjudul Perempuan di Titik Nol. Sebuah novel yang ditulis berdasarkan kisah nyata sebelum Firdaus dihukum mati. Pernyataan Firdaus dilontarkannya ketika ia menolak "orang penting" yang ingin menidurinya dan mengirim seorang polisi untuk menjemputnya.

Firdaus menjadi pelacur yang hebat melalui suatu penderitaan panjang yang menimpa dirinya hingga sampai pada tingkat kesadaran yang sangat politis. Penolakannya terhadap para politikus ("Orang penting") yang mencoba menggunakan kekuasaan untuk membeli tubuhnya adalah sikap politiknya yang diekspresikan secara lugas, jujur, dan berani. Ketika ia dipenjara karena penolakannya itu, ia menyewa pengacara terkenal di Kairo yang dengan mudah membebaskan dan membuktikan dirinya sebagai "wanita terhormat".

Sisi lain kehidupan Firdaus dan para PSK menelanjangi segala borok yang ada dalam masyarakat kita. Kemunafikan dan kebusukan masyarakat juga dapat terkuak hanya lewat seorang pelacur. Soalnya, seperti kata F X Rudy Gunawan, kita semua sebenarnya bukan tak mungkin juga adalah pelacur-pelacur yang bersembunyi di balik segala kepintara akal busuk kita sebagai well educated people. Bahkan bukan tak mungkin kita sebenarnya lebih parah karena bukan hanya tubuh yang kita jual, tetapi malah pikiran, kemiskinan dan penderitaan orang lain atau prinsip dan harga diri kita sendiri.

Anjuran para napi di atas tetaplah relevan dan penting untuk didiskusikan bukan saja untuk konteks Maumere, tetapi juga untuk daerah lain di NTT ini. Dan lebih dari itu, anjuran itu adalah sebuah cambuk bagi kita untuk mengevaluasi moralitas publik dan moralitas pribadi (kesetiaan, kejujuran, ketulusan) berhadapan dengan fakta PSK dan HIV/AIDS saat ini. Suara-suara para napi yang sedang ber-metanioa itu perlu menjadi suara kritis bagi kita segenap warga Kota Maumere, komponen pemerintah, LSM dan stakeholder lainnya.

PSK dan HIV/AIDS adalah ancaman bagi kehidupan manusia. Mari kita secara bijak dan bajik menyikapinya demi kebaikan umum termasuk juga kebaikan para PSK itu sendiri. Kita nantikan gebrakan selanjutnya dalam ruang-ruang diskusi dan praksis kebijakan pemerintah.

Dimuat di Flores Pos, 3 Oktober 2007

http://isidoruslilijawa.blogspot.com/2008/04/napi-psk-dan-hivaids.html

Read More...

Tembok Derita Over Kapasitas 47,88%

Minggu, 10 Agustus 2008

Khusnul Khotimah

INILAH.COM, Jakarta - Sudah bergelar tembok derita, masalah over kapasitas pun menambah derita penghuni sel penjara. Hotel prodeo di seluruh Nusantara ini mengalami over kapasitas hingga 47,88 persen.

"Sesuai data yang ada saat ini, jumlah unit pelaksana teknis (UPT) lapas/rutan 423 unit. Kapasitasnya 86.550 orang. Isinya 127.995 orang. Jadi over kapasitas 41.445 orang atau 47,88 persen," tutur Menkum HAM Andi Mattalata.

Hal ini disampaikan Andi dalam sambutan tertulis yang dibacakan Dirjen Pemasyarakatan Depkum HAM Untung Sugiono dalam lokakarya penanganan sanitasi di lapas/rutan di Hotel Le Meridien, Jakarta, Selasa (6/5).

Sebagian besar lapas/rutan yang mengalami over kapasitas itu, lanjut dia, terutama berada di kota besar. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi hal tersebut, misalnya dengan pembangunan lapas/rutan baru pada wilayah pemekaran.

"Selain itu rehabilitasi lapas/rutan lama dengan penambahan ruang hunian, optimalisasi pemberian asimilasi, pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas, cuti mengunjungi keluarga, dan cuti bersyarat. Diharapkan juga ada perbaikan kondisi sanitasi lapas/rutan," sebut Andi seperti dibacakan Untung.[L3]

http://www.inilah.com/berita/2008/05/06/26796/tembok-derita-over-kapasitas-4788/


Read More...